Ceritaci - Beberapa waktu lalu, saya duduk agak lama di teras sebuah masjid di kawasan Kecamatan Kuta Alam, sambil membaca laporan keuangan bulanan yang ditempel di papan pengumuman. Angkanya sederhana saja: pemasukan, pengeluaran, dan saldo tabungan amal.
Awalnya saya berpikir, “Mungkin karena bulan ini kegiatan masjid tidak banyak, jadi jamaah pun agak longgar dalam memberi.” Tapi ketika saya coba perhatikan laporan dari masjid lain di sekitar kota, polanya hampir sama: pemasukan infak mingguan dan bulanan cenderung menurun. Bahkan di Masjid yang saya terlibat di dalamnya sebagai pengurus, juga TURUN!
Pertanyaannya lalu muncul di kepala: apakah jamaah kita mulai lupa berinfak? Atau sebenarnya kondisi ekonomi sekarang memang sedang sulit-sulitnya sehingga berdampak pada kebiasaan berinfaq jamaah?
Kalau bicara soal kesadaran berinfak, saya yakin masyarakat Kota Banda Aceh masih sangat peduli dengan masjid. Hampir setiap pengumuman kotak amal digerakkan, selalu ada yang menyelipkan uang, entah recehan atau lembaran.
Tapi bisa jadi, tekanan ekonomi belakangan ini ikut mempengaruhi. Harga kebutuhan pokok naik, biaya sekolah anak-anak bertambah, belum lagi kebutuhan mendadak yang sering tak terduga.
Fenomena ini menarik untuk kita renungkan. Karena masjid tidak hanya berdiri dari semangat ibadah, tapi juga dari dukungan jamaah secara nyata. Jika tabungan masjid menurun, maka program-program sosial, pendidikan, hingga perawatan fasilitas masjid bisa ikut terhambat.
Di sisi lain, mungkin kita juga perlu jujur mengakui bahwa rasa “malas” berinfak bisa saja menyelinap. Kadang kita berpikir, “Ah, sudah ada orang lain yang memberi,” atau merasa infak kita terlalu kecil untuk berarti. Padahal, masjid justru hidup dari kebersamaan jumlah yang kecil-kecil itu.
Saya menuliskan ini bukan untuk menggurui, melainkan untuk mengingatkan diri sendiri. Mungkin, di tengah banyaknya kebutuhan pribadi, kita tetap perlu melatih hati untuk tidak lupa menyisihkan sebagian kecil untuk rumah Allah. Karena sejatinya, infak bukan soal besar kecilnya angka, melainkan tanda cinta kita kepada Allah dan syukur atas rezeki yang masih dititipkan.
Jadi, apakah menurunnya tabungan masjid di Banda Aceh ini murni karena kondisi ekonomi atau karena jamaah mulai abai? Mungkin jawabannya tidak tunggal. Ada faktor ekonomi, ada faktor kebiasaan, ada faktor kesadaran. Yang pasti, ini menjadi alarm bagi kita semua agar tetap menjaga budaya infak sebagai denyut nadi keberlangsungan masjid.
Bagaimana menurut kawan-kawan? Komen dibawah