Informaci - Ayah dan Bunda, coba deh ingat-ingat, pasti ayah bunda sering dengar atau bahkan pernah bilang sendiri kalimat ini:
“Habiskan makananmu, Nak. Lihat saudara-saudara kita di Palestina, mereka tidak bisa makan berhari-hari.”
Iya kan? Kalimat ini memang hits banget di telinga kita. Sebagai orang tua, niat kita baik kok. Kita mau anak belajar bersyukur dan nggak buang-buang makanan.
Tapi, Hati-Hati, Niat Baik Bisa Jadi Salah Paham Lho!
Memang tujuannya mulia, yaitu mengajarkan kebaikan. Tapi, ternyata, membandingkan porsi makan anak kita dengan kesulitan saudara-saudara kita di Palestina (atau daerah bencana lain) punya beberapa dampak yang kurang enak buat si kecil:
Makan Jadi Bikin Stres: Anak bisa jadi mengasosiasikan waktu makan dengan rasa bersalah, cemas, atau tertekan. Padahal, makan seharusnya jadi momen yang santai dan menyenangkan, bukan beban.
Bersyukur Jadi Dipaksa: Rasa syukur itu jadi terasa seperti kewajiban karena "ancaman" atau rasa bersalah. Anak jadi nggak benar-benar mengapresiasi makanan, tapi cuma takut dimarahi atau merasa berdosa. Apresiasi tulus terhadap rezeki jadi hilang.
Cuma Efek Sesaat: Kalau begini terus, anak menghabiskan makanan cuma karena takut atau terpaksa. Mereka nggak dapat pemahaman mendasar kenapa makanan itu penting dan kenapa kita harus menghindari pemborosan. Jadi, efeknya nggak bertahan lama.
Terus, Gimana Dong Cara Mengajar Anak Menghargai Makanan Tanpa Bikin Mereka Terbebani?
Ayah dan Bunda, tenang saja. Ada kok cara yang jauh lebih positif dan asyik!
4 Cara Asyik Mengajarkan Anak Menghargai Makanan
1. Ajak Anak Bersyukur pada Proses, Bukan Penderitaan
Daripada menunjuk pada penderitaan yang jauh, fokuslah pada hal-hal yang dekat dengan anak:
Ajak anak berterima kasih atas tenaga dan waktu yang Bunda atau Ayah luangkan untuk memasak.
Jelaskan perjalanan makanan: dari bapak tani menanam, pedagang menjual, sampai akhirnya tersaji.
Ajak anak berterima kasih karena makanan itu membuat tubuh mereka kuat dan sehat.
Contoh Kalimat Positif:
"Wah, ini dimasaknya pakai cinta lho. Yuk, kita nikmati biar energi kita penuh!"
"Terima kasih ya Allah, makanan ini enak banget. Badan kita jadi semangat lagi!"
2. Libatkan Mereka di Dapur dan Pasar
Pengalaman langsung itu guru terbaik!
Ajak anak ikut memilih bahan makanan di pasar.
Kalau ada lahan, ajak mereka menanam sayuran kecil.
Minta mereka membantu menyiapkan makanan, seperti mencuci sayur atau menata piring.
Dengan terlibat, anak akan mengerti betapa berharga dan butuh banyak usaha untuk mendapatkan satu porsi makanan sehingga mereka bersimpati atas proses-proses tersebut.
3. Beri Porsi Secukupnya Saja
Kunci: Jangan paksakan anak makan sampai kekenyangan!
Sajikan porsi yang kecil dulu. Biarkan mereka yang meminta tambah kalau memang masih lapar.
Mengajarkan anak mengenali rasa kenyang itu penting banget untuk hubungan yang sehat dengan makanan.
Kalau porsi sudah kecil, risiko food waste (sisa makanan) juga otomatis berkurang.
4. Pisahkan Pelajaran Empati dan Pelajaran Makan
Ini yang paling penting! Kalau mau anak peduli dengan Palestina atau orang yang kesusahan, ajarilah di momen yang berbeda, jangan di meja makan!
Setelah selesai makan, barulah ajak anak berdiskusi: "Alhamdulillah kita hari ini bisa makan enak. Nah, ada lho saudara kita yang lagi kesusahan. Yuk, kita doakan mereka/kita sisihkan uang jajan untuk berdonasi."
Dengan begitu, empati itu menjadi tindakan positif (doa, donasi), bukan sekadar alasan untuk menghabiskan nasi.
Intinya: Mari kita ubah fokus dari "ancaman" penderitaan menjadi "apresiasi tulus" terhadap rezeki dan prosesnya. Dengan begini, anak kita akan tumbuh menjadi pribadi yang benar-benar bersyukur dan menghargai makanan dengan hati yang gembira.
